Ontologi: Metafisika,
Asumsi, dan Peluang
Oleh
Degi Sartika Zubaidah dan Ibrahim
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Filsafat
merupakan telaahan yang ingin menjawab berbagai persoalan secara mendalam
tentang hakikat sesuatu, atau dengan kata lain filsafat adalah usaha untuk
mengetahui sesuatu. Kegiatan penelaahan, penalaran atau argumentasi secara
mendasar tentang masalah-masalah tertentu disebut berfilsafat, dan
pendalamannya ditekankan pada bidang yang lebih diminati daripada
masalah-masalah lain (Susanto, 2011: 26). Tegasnya filsafat adalah hasil akal
seseorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu (Ihsan, 2010: 3).
Sebagai sebuah ilmu, filsafat memiliki 3 bidang
kajian ilmiah yang di dalamnya terkandung 3 pertanyaan ilmiah yaitu ontologi,
epistimologi dan aksiologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani “ontos” yang berarti yang ada dan “logos” yang berarti penyelidikan tentang
sehingga dapat disimpulkan ontologi berarti penyelidikan tentang apa yang ada. Jadi,
ontologi membicarakan asa-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk
mengetahui (“penyelidikan tentang”) esensi yang terdalam dari “yang ada”.
Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan
itu sendiri, di mana hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan
sementara atau keadaan yang berubah. Dengan ontologi, diharapkan terjawab
pertanyaan tentang “apa”. Epistimologi merupakan bidang yang menyelidiki asal
mula, susunan, metode-metode suatu ilmu. Epistimologi diperlukan untuk menjawab
pertanyaan “bagaimana” Aksiologi merupakan bidang yang menyelidiki hakikat
nilai. Aksiologi digunakan untuk memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa”
(Susanto, 2011: 27-30).
Dalam
makalah ini kami memfokuskan masalah dalam telaah ontologi. Obyek telaah
ontologi adalah apa yang ada, dibagi menjadi 2 bentuk yaitu obyek material dan
formal. Berdasarkan apa yang ditelaah maka material filsafat adalah segala sesuatu,
sementara obyek formalnya adalah hakikat terdalam/hakiki. Obyek material
filsafat dapat dibagi menjadi 2 bentuk. Pertama obyek konkret/empiris yang
berupa gejala yang ada dan dapat ditangkap oleh pancaindera. Bentuk kedua
adalah obyek abstrak atau yang sering disebut sebagai metafisika yang
membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang ada.
Dalam
kegiataan penelaahan gejala diperlukan beberapa asumsi/ pengandaian/dugaan
mengenai obyek material. Asumsi ini sangat diperlukan karena akan memberikan
arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan (Suriasumantri, 2009: 6).
Asumsi harus didukung oleh teori dan fakta
agar dapat dibuktikan secara rasional. Keberagaman dalam alam akan menimbulkan
suatu kemungkinan/ peluang terjadinya fakta yang mempengarohi dalam penelaahan
terhadap sesuatu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
dalam makalah ini mengenai obyek material abstrak (metafisika), asumsi dan
peluang dalam aspek ontologi filsafat.
3. Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui obyek material abstrak (metafisika), asumsi dan peluang dalam aspek
ontologi filsafat.
B. PEMBAHASAN
1. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar
pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif.
Menurut Asmoro Achmadi dalam (Susanto,
2011: 92) metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang
bersifat “keluarbiasaan” (beyond nature) yang berada di luar pengalaman
manusia (immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang berada
di luar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan) atau
hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di luar kebiasaan atau di
luar pengalaman manusia.
Istilah metafisika berasal dari kata “meta”
berarti sesudah dan “fisika” berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain
metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di
belakang gejala-gejala yang nyata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluroh
metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika
membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada
sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Aristoteles menyinggung masalah metafisika
dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang berisi hal-hal yang bersifat
gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang
membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti
filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang
metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan. Oleh karena itu,
setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap
tersangkut di dalamnya.
Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia
terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat supernatural dan
wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa dibandingkan alam nyata.
Animisme (roh-roh yang bersifat gaib terdapat
pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan
pemikiran supernaturalisme. Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa
terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham
yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaroh
kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri.
Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum
mekanistik melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala
fisika semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik
yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.
Menurut Conny Semiawan, dkk dalam Susanto (2011:
93), metafisika dimasukkan ke dalam ontologi filsafat ilmu. Dengan demikian,
ontologi di dalam filsafat ilmu menyelidiki segala kemungkinan dari kenyataan
yang terjadi.
Dalam memahami metafisika umum (ontologi) ada
beberapa aliran/ pandangan pokok pikiran yaitu :
1. Aliran Monoisme
Paham
monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah
satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal,
baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi
2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme.
Aliran
materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut
juga spiritualisme berarti serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam
ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati
ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.
Beberapa tokoh yang tergolong pada aliran
materialisme adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Sementara tokoh aliran
idealisme adalah Plato.
2. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham
yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran
dualisme materi maupun roh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan
karena adanya roh, begitupun roh muncul buka karena materi.
Aliran
dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya.
Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule)
dan bentuk (eidos). Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan
pengertian materi yan dipahami saat ini. Menurut Aristoteles, materi adalah
dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur
bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Materi
dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum.
Tiap benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi
mutlak diperlukan bagi pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat
dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum
ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud/menjadi
ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena
kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan
bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia
ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah
penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa yang berada di dalam
benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang
menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll).
Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas
ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.
Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat
dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak
dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang diamati disusun dari bentuk dan
materi.
3. Aliran Pluralisme
Aliran
ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
4. Aliran Nihilisme
Aliran
ini berpendapat dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran
ini tidak mengakui validitas alternatif positif. Dalam pandangan nihilisme, Tuhan
sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.
5. Aliran Agnotisisme
Menurut
aliran ini manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik
kenyataannya, sebab kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu
akan hakikat semua yang ada, baik oleh inderanya ataupun pikirannya. Paham
agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda,
baik hakikat materi maupun hakikat rohani.
2. Asumsi
Asumsi
merupakan pengandaian mengenai obyek (metafisika) untuk mendapatkan
pengetahuan. Asumsi ini perlu sebab pernyataan asumsi inilah yang akan memberi
arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Sebuah pengetahun baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang
dikemukakannya. Semua teori keilmuan mempunyai asumsi, baik yang tersirat
maupun yang tersurat. Perbedaan asumsi akan menyebabkan perbedaan penerimaan
suatu pengetahuan.
Ilmu
memiliki 3 asumsi mengenai obyek empiris (Suriasumantri, 2009: 7-9) yaitu:
- Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk struktur, sifat, dsb. Berdasarkan hal ini maka beberapa obyek serupa dapat dikelompokkan dalam satu golongan atau diistilahkan sebagai klasifikasi.
- Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Meskipun alam selalu berubah, namun ilmu menuntut kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu sehingga memungkinkan melakukan penelitian terhadap obyek yang diselidiki.
- Determinisme. Setiap gejala bukan merupakan suatu kebetulan tetapi memiliki suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Ilmu tidak menuntut hubungan sebab akibat, artinya tidak semua hal harus diikuti atau didahului oleh yang lain, namun mengatakan kemungkinan terjadinya (peluang). Peluang dapat dihubungkan dengan gejala penelaahan melalui suatu metode statistika yang menentukan persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi tentang alam.
3. Peluang
Ilmu
Probabilistik atau ilmu tentang peluang termasuk cabang ilmu yang baru. Walau
termasuk ilmu yang relatif baru, ilmu ini bersama dengan statistika berkembang
cukup pesat. Peluang dinyatakan dari angka 0 sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa
suatu kejadian itu tidak mungkin terjadi. Dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu
itu pasti terjadi. Misalnya bahwa peluang semua makhluk hidup itu akan mati dinyatakan
dengan angka 1. Statistika hanya menyatakan distribusi kemungkinan/peluang dari
nilai besaran dalam kasus-kasus individual. Misalnya peluang munculnya angka
tertentu dari lemparan dadu adalah 1/6. Hukum statistik tidak meramalkan apa
yang akan terjadi atau apa yang pasti terjadi dalam suatu lemparan dadu. Hukum
ini hanya menyatakan jika kita melempar dalam jumlah lemparan yang banyak
sekali maka setiap muka dadu diharapkan untuk muncul sama seringnya. Kita tahu
bahwa untuk menjelaskan fakta dari suatu pengamatan, tidak pernah pasti secara
mutlak karena masih ada kemungkinan kesalahan pengamatan. Namun di luar dari
pada itu jika hal ini ditinjau dari hakikat hukum keilmuwan maka terdapat
kepastian yang lebih besar lagi. Karena itu ilmu menyimpulkan sesuatu dengan
kesimpulan probabilistik. Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi
untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang
bersifat relatif (Suriasumantri, 2010:78-80).
Misalnya
seorang ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa memberikan bawa kepastian
tidak turun hujan 0.8. Atau seorang psikologi atau psikiater hanya bisa
memberikan alternatif mengenai jalan-jalan yang bisa diambil. Keputusan apa
yang akan diambil seseorang sehubungan informasi cuaca di atas atau langkah apa
yang akan diambil seseorang sesuai saran psikolog tergantung masing-masing
pribadi. Keputusan ada di tangan masing-masing pribadi bukan pada teori-teori keilmuwan.
C. KESIMPULAN
1. Metafisika
adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang
gejala-gejala yang nyata. Ada beberapa aliran yaitu:
a. Aliran monoisme, menganggap hakikat asal
dari seluruh kenyataan hanya satu saja. Bila dianggap sumber asal memiliki
bentuk disebut sebagai materialisme/ naturalisme. Namun bila dianggap sumber
asal tidak memiliki bentuk misalnya ruh maka disebut sebagai idealisme/
spiritualisme.
b. Aliran dualisme, menganggap ada 2 macam
hakikat yaitu materi (hule) dan bentuk (eidos). Materi adalah
penyusun benda yang dapat diamati, sementara bentuk adalah asas yang berada
pada benda yang konkrit yang menyebabkannya disebut demikian. Materi dan bentuk
tidak dapat dipisahkan
c. Aliran pluralisme, menganggap kenyataan
tersusun dari banyak unsur
d. Aliran nikhilisme, mengganggap kenyataan
tidak memiliki hakikat sehingga dunia terbuka untuk kebebasan dan kreatifitas
manusia.
e. Aliran agnotisisme, menganggap kemampuan
manusia terbatas sehingga tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik
kenyataannya.
2. Asumsi merupakan pengandaian mengenai obyek (metafisika)
untuk mendapatkan pengetahuan. Ada 3 asumsi ilmu :
a. Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain
b. Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu
c. Determinisme
3. Peluang adalah kemungkinan munculnya sesuatu
berdasarkan statistika.
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan, A. Fuad. 2010. Filsafat Ilmu.
Jakarta : Rineka Cipta.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu dalam perspektif
: Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia.
Suriasumantri,
Jujun S. 2010. Filsafat ilmu: Sebuah
pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto,
A. 2011. Filsafat Imu : Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistimologis
dan aksiologis. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar