Kamis, 11 Oktober 2012

Ontologi: metafisika, asumsi dan peluang




Ontologi: Metafisika, Asumsi, dan Peluang
Oleh
Degi Sartika Zubaidah dan Ibrahim

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
            Filsafat merupakan telaahan yang ingin menjawab berbagai persoalan secara mendalam tentang hakikat sesuatu, atau dengan kata lain filsafat adalah usaha untuk mengetahui sesuatu. Kegiatan penelaahan, penalaran atau argumentasi secara mendasar tentang masalah-masalah tertentu disebut berfilsafat, dan pendalamannya ditekankan pada bidang yang lebih diminati daripada masalah-masalah lain (Susanto, 2011: 26). Tegasnya filsafat adalah hasil akal seseorang manusia yang mencari dan memikirkan sesuatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu (Ihsan, 2010: 3).
Sebagai sebuah ilmu, filsafat memiliki 3 bidang kajian ilmiah yang di dalamnya terkandung 3 pertanyaan ilmiah yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani “ontos” yang berarti yang ada dan “logos” yang berarti penyelidikan tentang sehingga dapat disimpulkan ontologi berarti penyelidikan tentang apa yang ada. Jadi, ontologi membicarakan asa-asas rasional dari “yang ada”, berusaha untuk mengetahui (“penyelidikan tentang”) esensi yang terdalam dari “yang ada”. Ontologi seringkali disebut sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri, di mana hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan sementara atau keadaan yang berubah. Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Epistimologi merupakan bidang yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode suatu ilmu. Epistimologi diperlukan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” Aksiologi merupakan bidang yang menyelidiki hakikat nilai. Aksiologi digunakan untuk memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” (Susanto, 2011: 27-30).
            Dalam makalah ini kami memfokuskan masalah dalam telaah ontologi. Obyek telaah ontologi adalah apa yang ada, dibagi menjadi 2 bentuk yaitu obyek material dan formal. Berdasarkan apa yang ditelaah maka material filsafat adalah segala sesuatu, sementara obyek formalnya adalah hakikat terdalam/hakiki. Obyek material filsafat dapat dibagi menjadi 2 bentuk. Pertama obyek konkret/empiris yang berupa gejala yang ada dan dapat ditangkap oleh pancaindera. Bentuk kedua adalah obyek abstrak atau yang sering disebut sebagai metafisika yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang ada.
            Dalam kegiataan penelaahan gejala diperlukan beberapa asumsi/ pengandaian/dugaan mengenai obyek material. Asumsi ini sangat diperlukan karena akan memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan (Suriasumantri, 2009: 6).
             Asumsi harus didukung oleh teori dan fakta agar dapat dibuktikan secara rasional. Keberagaman dalam alam akan menimbulkan suatu kemungkinan/ peluang terjadinya fakta yang mempengarohi dalam penelaahan terhadap sesuatu.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam makalah ini mengenai obyek material abstrak (metafisika), asumsi dan peluang dalam aspek ontologi filsafat.
3. Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui obyek material abstrak (metafisika), asumsi dan peluang dalam aspek ontologi filsafat.


B. PEMBAHASAN
1. Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar yang berada di luar pengalaman manusia. Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut Asmoro Achmadi dalam (Susanto, 2011: 92) metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat “keluarbiasaan” (beyond nature) yang berada di luar pengalaman manusia (immediate experience). Metafisika mengkaji sesuatu yang berada di luar hal-hal yang biasa yang berlaku pada umumnya (keluarbiasaan) atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di luar kebiasaan atau di luar pengalaman manusia.
Istilah metafisika berasal dari kata “meta” berarti sesudah dan “fisika” berarti nyata/alam fisik. Dengan kata lain metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluroh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.
Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat. Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.
Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa dibandingkan alam nyata.
Animisme (roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon) merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Naturalisme yaitu paham yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaroh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri.
Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.
Menurut Conny Semiawan, dkk dalam Susanto (2011: 93), metafisika dimasukkan ke dalam ontologi filsafat ilmu. Dengan demikian, ontologi di dalam filsafat ilmu menyelidiki segala kemungkinan dari kenyataan yang terjadi.
Dalam memahami metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/ pandangan pokok pikiran yaitu :
1. Aliran Monoisme
            Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran idealisme.
            Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut juga spiritualisme berarti serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.
Beberapa tokoh yang tergolong pada aliran materialisme adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Sementara tokoh aliran idealisme adalah Plato.
2. Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun roh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya roh, begitupun roh muncul buka karena materi.
            Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya. Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule) dan bentuk (eidos). Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan pengertian materi yan dipahami saat ini. Menurut Aristoteles, materi adalah dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa. Materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang belum ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud/menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang membentuknya.
            Sedangkan bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos adalah asa yang berada di dalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll). Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas ide, melainkan sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.
Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang diamati disusun dari bentuk dan materi.
3. Aliran Pluralisme
            Aliran ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua identitas.
4. Aliran Nihilisme
            Aliran ini berpendapat dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif positif. Dalam pandangan nihilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas berkehendak dan berkreativitas.
5. Aliran Agnotisisme
            Menurut aliran ini manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya, sebab kemampuan manusia sangat terbatas dan tidak mungkin tahu akan hakikat semua yang ada, baik oleh inderanya ataupun pikirannya. Paham agnotisisme mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani.
2. Asumsi
            Asumsi merupakan pengandaian mengenai obyek (metafisika) untuk mendapatkan pengetahuan. Asumsi ini perlu sebab pernyataan asumsi inilah yang akan memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Sebuah pengetahun baru dianggap  benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Semua teori keilmuan mempunyai asumsi, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Perbedaan asumsi akan menyebabkan perbedaan penerimaan suatu pengetahuan.
            Ilmu memiliki 3 asumsi mengenai obyek empiris (Suriasumantri, 2009: 7-9) yaitu:
  1. Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam bentuk struktur, sifat, dsb. Berdasarkan hal ini maka beberapa obyek serupa dapat dikelompokkan dalam satu golongan atau diistilahkan sebagai klasifikasi.
  2. Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Meskipun alam selalu berubah, namun ilmu menuntut kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu sehingga memungkinkan melakukan penelitian terhadap obyek yang diselidiki.
  3. Determinisme. Setiap gejala bukan merupakan suatu kebetulan tetapi memiliki suatu pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Ilmu tidak menuntut hubungan sebab akibat, artinya tidak semua hal harus diikuti atau didahului oleh yang lain, namun mengatakan kemungkinan  terjadinya (peluang). Peluang dapat dihubungkan dengan gejala penelaahan melalui suatu metode statistika yang menentukan persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi tentang alam.
3. Peluang
            Ilmu Probabilistik atau ilmu tentang peluang termasuk cabang ilmu yang baru. Walau termasuk ilmu yang relatif baru, ilmu ini bersama dengan statistika berkembang cukup pesat. Peluang dinyatakan dari angka 0 sampai 1. Angka 0 menyatakan bahwa suatu kejadian itu tidak mungkin terjadi. Dan angka 1 menyatakan bahwa sesuatu itu pasti terjadi. Misalnya bahwa peluang semua makhluk hidup itu akan mati dinyatakan dengan angka 1. Statistika hanya menyatakan distribusi kemungkinan/peluang dari nilai besaran dalam kasus-kasus individual. Misalnya peluang munculnya angka tertentu dari lemparan dadu adalah 1/6. Hukum statistik tidak meramalkan apa yang akan terjadi atau apa yang pasti terjadi dalam suatu lemparan dadu. Hukum ini hanya menyatakan jika kita melempar dalam jumlah lemparan yang banyak sekali maka setiap muka dadu diharapkan untuk muncul sama seringnya. Kita tahu bahwa untuk menjelaskan fakta dari suatu pengamatan, tidak pernah pasti secara mutlak karena masih ada kemungkinan kesalahan pengamatan. Namun di luar dari pada itu jika hal ini ditinjau dari hakikat hukum keilmuwan maka terdapat kepastian yang lebih besar lagi. Karena itu ilmu menyimpulkan sesuatu dengan kesimpulan probabilistik. Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan lewat penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif (Suriasumantri, 2010:78-80).
            Misalnya seorang ilmuwan geofisika dan meteorologi hanya bisa memberikan bawa kepastian tidak turun hujan 0.8. Atau seorang psikologi atau psikiater hanya bisa memberikan alternatif mengenai jalan-jalan yang bisa diambil. Keputusan apa yang akan diambil seseorang sehubungan informasi cuaca di atas atau langkah apa yang akan diambil seseorang sesuai saran psikolog tergantung masing-masing pribadi. Keputusan ada di tangan masing-masing pribadi bukan pada teori-teori keilmuwan.

C. KESIMPULAN
1. Metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang gejala-gejala yang nyata. Ada beberapa aliran yaitu:
a. Aliran monoisme, menganggap hakikat asal dari seluruh kenyataan hanya satu saja. Bila dianggap sumber asal memiliki bentuk disebut sebagai materialisme/ naturalisme. Namun bila dianggap sumber asal tidak memiliki bentuk misalnya ruh maka disebut sebagai idealisme/ spiritualisme.
b. Aliran dualisme, menganggap ada 2 macam hakikat yaitu materi (hule) dan bentuk (eidos). Materi adalah penyusun benda yang dapat diamati, sementara bentuk adalah asas yang berada pada benda yang konkrit yang menyebabkannya disebut demikian. Materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan
c. Aliran pluralisme, menganggap kenyataan tersusun dari banyak unsur
d. Aliran nikhilisme, mengganggap kenyataan tidak memiliki hakikat sehingga dunia terbuka untuk kebebasan dan kreatifitas manusia.    
e. Aliran agnotisisme, menganggap kemampuan manusia terbatas sehingga tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu di balik kenyataannya.
2. Asumsi merupakan pengandaian mengenai obyek (metafisika) untuk mendapatkan pengetahuan. Ada 3 asumsi ilmu :
a. Obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain
b. Anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu
c. Determinisme
3. Peluang adalah kemungkinan munculnya sesuatu berdasarkan statistika.

DAFTAR PUSTAKA
Ihsan, A. Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta : Rineka Cipta.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu dalam perspektif : Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Susanto, A. 2011. Filsafat Imu : Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistimologis dan aksiologis. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Tidak ada komentar: